This post is also available in: English

Lahir dan besar sebagai seorang Muslim di Jepang adalah sesuatu yang kebanyakan orang tidak mengalaminya. Mereka merasakan suasana yang berbeda, serta sudut pandang yang berbeda dari kebanyakan orang yang lahir dan besar di negara dengan mayoritas penduduknya adalah Muslim.

Hari ini kami akan berbincang dengan Ghufron Yazid, seorang Muslim Indonesia yang lahir di Jepang mengenai pengalamannya lahir dan besar di Jepang

Bertemu dengan  Ghufron Yazid! Pemimpin dari Generasi Kedua Muslim Jepang

Ghufron adalah Muslim Indonesia yang lahir dan besar di Tokyo. Dia bersekolah di sekolah dan universitas Jepang, lalu sekarang dia terlibat pada beragam jangkauan luas keahlian, dari bekerja sebagai desainer dan kreatif, sampai menjadi pembicara dalam acara yang berhubungan dengan Islam dan sebagai penjual bunga, sambil memimpin komunitas Muslim generasi ke-2 di Jepang tepatnya di  Tokyo Camii Young Muslim Club dan Organisasi Pemuda Muslim (Young Muslim Organization) Olive Japan.

Ghufron yang berbahasa Jepang, Inggris, dan bahasa Indonesia, tidak bisa bahasa Indonesia yang merupakan asal usulnya, pada awalnya. Dia terbang ke Indonesia pada liburan musim panas saat dia duduk di bangku SMA dan membiarkan dirinya melebur dalam suasana Indonesia. Saat dia kembali ke Jepang, dia memotivasi dirinya sendiri agar secara aktif berbicara bahasa Indonesia dengan orang tuanya, yang mana membuatnya fasih berbahasa Indonesia sekarang,

Lihat Juga

Hidup di Jepang Sebagai Anak Muda Muslim Keturunan Jepang

Bersekolah di Sekolah Jepang

Agama bukan topik yang relatif untuk dibicarakan di Jepang. Selama sekolah, Ghufron mengatakan bahwa dia memiliki kesadaran yang rendah tentang agama Islam meskipun hal tersebut adalah hal yang sering dibilang oleh orang tuanya. Meskipun begitu, dia berhati-hati dalam memilih makanan, termasuk makan siang di sekolah. Dia menyebutkan bahwa ahli gizi di sekolah menyiapkan makan siang terpisah dan jika ada beberapa hal dimana ahli gizi atau sekolah tidak bisa membantu, ibunya menyiapkan bento untuknya.

*Ada ahli gizi di sekolah yang bertugas untuk menyiapkan makan siang di sekolah untuk murid-murid.

Lalu saat tahun pertamanya di SMA, kesadaran sebagai seorang Muslim mulai tumbuh di dalam dirinya.

Lihat Juga

Muslim-Friendly & Foreigner-Friendly Schools in Japan
Cara Mendapatkan Makanan Halal di Jepang

Mengikuti pantangan makan yang dia sudah jalani selama ini, dia secara proaktif berkomunikasi dengan sekolah tentang kebutuhannya sebagai seorang Muslim, seperti menanyakan kepada sekolah apakah mengizinkannya menggunakan salah satu ruangan di sekolah untuk shalat dan masih banyak lagi. Sekolah mengerti kebutuhannya dan melakukan yang terbaik untuk memenuhinya. Mereka bahkan menyiapkan makanan untuknya selama wisata sekolah.

*Saat siswa SD dan SMP telah sampai akhir tahun sekolah, murid-murid akan pergi berwisata selama 3 hari 2 malam, biasanya berlangsung di akhir musim semi, awal musim panas, atau musim gugur.

Apakah Tinggal di Jepang Menyenangkan?

Setiap orang menyukai Jepang, entah sebagai wisatawan atau sebagai penduduk. Keindahan Jepang membuat orang mengagumi dan jatuh cinta dengan negara ini.

“Menyenangkan tinggal di Jepang. Jepang memiliki kekayaan alam, 4 musim yang indah, kuliner yang menggugah selera, dan keramahan yang baik”, kata Ghufron. “Selain itu, saya bisa secara alami memahami filosofi Jepang tentang keindahan yang tidak dimiliki negara lain”, tambahnya.

Jepang memiliki filosofi estetik yang unik sehingga membuat Jepang seperti sekarang, termasuk budaya dan bahasanya. Filosofi dan kedalaman makna yang terkandung di dalamnya secara alami dimengerti oleh orang-orang yang dilahirkan dan dibesarkan di Jepang, sedangkan hal tersebut agak sedikit sulit dimengerti (dan bahkan susah untuk diterjemahkan dan diartikan dalam bahasa Inggris!) oleh mereka yang bukan lahir dan besar di Jepang.

Sebagai contoh, filosofi dari “mono no aware(哀れ・もののあわれ)” memiliki arti, “kesadaran sedih akan ketidakkekalan, perasaan tergerak oleh keindahan hal-hal yang tidak bertahan lama seperti bunga, musim, kehidupan manusia, dan lainnya dengan sedikit kesedihan”. Filosofi lainnya adalah “wabi-sabi(わびさび)” yang berarti, “kecantikan dalam kesederhanaan dan ketidaksempurnaan”.

Di atas semua itu, Ghufron menyebutkan bahwa hubungan personal sesama manusia di Jepang cukup sulit. Orang Jepang dikenal tidak memiliki ketertarikan kepada hal-hal yang bersifat personal dan menurut Ghufron, sepertinya ada tembok tidak terlihat yang membuat jarak antara sesama manusia dan hal itu membuat orang-orang terkadang menjadi kesepian.

Hidup di Jepang Sebagai Seorang Muslim yang Lahir dan Besar di Jepang

Dengan alasan Jepang adalah negara minoritas Muslim, banyak para pendatang Muslim yang mengkhawatirkan bagaimana orang Muslim tinggal dan memenuhi kebutuhan mereka sebagai Muslim di Jepang.

Menurut Ghufron, dia tidak merasakan atau menghadapi sesuatu yang sulit dalam mempraktekkan ajaran Islam di Jepang, bahkan Jepang memiliki lingkungan yang baik untuk mempraktekkan agama. Pada dasarnya, agama dan keyakinan di Jepang bersifat pribadi dan jarang dibicarakan atau menjadi sebuah topik dalam masyarakat Jepang. Lingkungan ini menjadikan umat Muslim di Jepang seperti Ghufron, sadar lebih jauh tentang betapa istimewanya keyakinan yang dipegang.

Dia menambahkan, “sudaut pandang tentang hidup, dunia, Tuhan berbeda dengan Muslim yang lahir di Indonesia dan hal itu sangat menarik”.

Sementara itu, ada kalanya dia merasa sedih karena tidak bisa berbicara dengan bebas tentang sesuatu yang dalam seperti kehidupan dan keyakinan saat makan siang dengan teman orang Jepang. Tentu saja, setiap orang termasuk orang Jepang berpikir secara mendalam dan berhati-hati tentang kehidupan, tapi Ghufron menyebutkan bahwa pasti akan lebih menarik jika kita bisa bicara dan membagikan perasaan kita serta sudut pandang secara bebas dari hati ke hati.

Lihat Juga

How Allah Guides Me to Work in Japan (With Tips and Tricks)
“Asagohan no Kai” (The Breakfast Club) Enliven Islamic Activities in Japan