This post is also available in: English
Ditulis oleh: Tuti Alawiyah
Berkesempatan tinggal di tiga kota besar di Jepang; Tokyo, Sapporo dan Osaka, merupakan perjalanan panjang yang sangat saya syukuri.
Seperti kebanyakan anak Indonesia yang tumbuh bersama anime dan komik-komik Jepang, tinggal di Jepang telah menjadi mimpi saya sejak duduk di bangku SMP. Mimpi itu akhirnya menjadi nyata di tahun 2013 saat saya mengikuti program internship/magang di Tokyo.
Program magang itu diadakan oleh Perusahaan Pasona yang bekerjasama dengan kampus saya dalam program perdana “Pasona International Exchange Program’’. Melalui program itu saya berkesempatan untuk magang di perusahaan Jepang selama 2 bulan.
Di tahun yang sama, saya juga mendaftar beasiswa MEXT untuk belajar bahasa dan budaya Jepang melalui Japanese Studies Program ke Osaka Kyoiku University. Selesai belajar setahun di Osaka, saya kembali ke tanah air Indonesia.
Lihat Juga
Study in Japan? Here Are the Types of Scholarship You Can Find!
Applying for University in Japan? Make Sure to Prepare the Following!
Satu Tantangan Lagi ke Jepang
Setibanya di Indonesia saya sulit move on dari kehidupan di Jepang. Jadi saat itu saya kembali menantang diri sendiri untuk mencoba lagi kesempatan beasiswa MEXT yang lain, yang akhirnya membawa saya untuk tinggal di ranah bersalju, Hokkaido.
Saya ingin sekali melihat pemandangan putih bersalju di sekitar, sebagaimana yang pasti banyak diimpikan oleh orang Indonesia karena di negeri sendiri sepanjang tahun hanya ada musim hujan dan musim kemarau. Karena itu saya sangat bersyukur saat mendapat kesempatan melanjutkan kuliah ke Universitas Hokkaido di tahun 2017.
Tiba di Negeri Salju, Hokkaido
Hokkaido, sebuah pulau di utara Jepang yang memiliki intensitas turun salju tinggi serta musim dingin yang lebih lama dibandingkan wilayah Jepang yang lain, sehingga pastinya saya bisa merasakan salju di sana. Kampus Hokkaido University pun terletak tepat di ibukotanya, Sapporo. Di kota inilah saya menghabiskan banyak waktu paling berkesan selama tinggal di Jepang.
Saya masih ingat sekali hari pertama datang ke Sapporo, saat itu awal April 2017. Di kota lain di Jepang, seharusnya saat itu sudah musim semi, tapi saya masih bisa melihat dari jendela pesawat kalau tanah Hokkaido masih begitu putih~ berselimut salju. Indah sekali membuat saya kegirangan! Suhunya sekitar 7 derajat celcius, membuat menggigil ketika saya melangkah keluar bandara New Chitose.
Rasanya seperti mimpi. Padahal malam sebelumnya saya masih di Jakarta, kota dengan suhu rata-rata 30 derajat celcius sepanjang tahun. Dan disinilah saya sekarang, negeri bersalju dimana musim dinginnya bisa sampai setengah tahun! Saya antusias sendiri.
Kemudian hari-hari pertama saya di Sapporo pun cukup menantang, terutama soal penyesuaian tubuh terhadap suhu lingkungan yang baru. Hokkaido masih turun salju bahkan sampai pertengahan April. Di tepi-tepi jalan masih banyak tumpukan salju dan juga lelehannya yang membuat jalanan menjadi sangat licin.
Tapi meskipun kedinginan dan perlu sangat hati-hati saat berjalan, hati saya senang bisa datang ke Sapporo. Satu pelajaran yang saya ambil, bahwa sebaiknya kita bawa jaket lebih saat mengunjungi Hokkaido baik itu di musim semi dan musim gugur.
Tips Beasiswa
Alhamdulilllah, saya sangat bersyukur bisa mendapat beasiswa MEXT untuk kedua kalinya. Dan tentunya semua itu bukan semata-mata karena kemampuan saya. Perjalanan saya sebagai pejuang beasiswa adalah tentang proses tawakal. Saya hanya melakukan ikhtiar semaksimal mungkin yang saya bisa dalam tiap proses seleksinya, kemudian menyerahkan segala hasilnya pada Allah SWT. Saya percaya sekali dengan nasehat banyak orang, “Lakukan yang terbaik semampumu, lalu biarkan Tuhan menyelesaikannya untukmu”.
Kehidupan Kampus di Universitas Hokkaido
Saya belajar di Hokudai (nama singkat dari Hokkaido University/Universitas Hokkaido) untuk mengejar gelar master. Alhamdulillah segala beasiswa ditanggung penuh oleh beasiswa MEXT (monbukagakusho). Banyak jatuh bangun saya mengejar beasiswa ini, bersaing dengan ribuan kandidat lain dari seluruh Indonesia untuk melewati seleksi dokumen, tes tertulis dan wawancara sampai akhirnya saya terpilih sebagai salah satu penerima Beasiswa MEXT Jalur G to G melalui rekomendasi dari Kedutaan Besar Jepang di Jakarta.
Jika kalian tertarik mencari tahu lebih jauh mengenai beasiswa ini, kalian bisa merujuk pada website Kedutaan Besar Jepang dengan kata kunci pencarian Beasiswa Monbukagakusho.
Lihat Juga
A Story ; Algerian Student Chases Dreams In Japan
Setelah dinyatakan lulus beasiswa, saya berangkat ke Sapporo untuk memulai program Research Student dulu selama satu tahun sebelum masuk ke program S2 selama dua tahun berikutnya. Jadi total saya tinggal selama 3 tahun di Sapporo sebagai mahasiswa di Graduate School of International Media Communications and Tourism Studies di Universitas Hokkaido.
Hampir semua mata kuliah di fakultas saya menggunakan bahasa Jepang sebagai pengantar perkuliahan. Sebagai informasi, sebenarnya ada pilihan fakultas yang menyediakan program bahasa Inggris juga. Hanya saja, di fakultas saya sebagian besar mata kuliah hanya tersedia dalam bahasa Jepang.
Kehidupan saya di kampus sangat berkesan. Saya satu-satunya muslim di fakultas saya. Meskipun begitu, semua teman maupun dosen sangat menghargai dan pengertian. Mereka memberikan saya kesempatan untuk sholat, pun memikirkan apa yang saya makan ketika kami menggelar pesta bersama.
Di fakultas saya belum tersedia mushola. Saya selalu sholat di kelas yang kosong, atau di gedung Office of International Affairs (OIA) yang hanya berjarak dua gedung dari fakultas saya. Tersedia mushola yang lengkap dengan alat sholatnya di sana. Karena saya juga mengambil beberapa mata kuliah bahasa Jepang di gedung itu selama satu semester, sehingga mudah bagi saya untuk sholat di sana setiap pergantian kelas. Selain itu, dekatnya jarak Masjid Sapporo yang hanya 10 menit berjalan kaki dari kampus, juga merupakan bentuk keberkahan tersendiri bagi kami. Alhamdulillah.
Terkait soal makanan halal, Hokudai juga menyediakan beberapa menu halal seperti kari dan ayam tandori di kantin pusatnya. Kalau bosan dengan menu itu, saya tinggal memilih menu makanan laut karena di Hokkaido, makanan lautnya terkenal paling enak !! Restoran Muslim Friendly juga menjamur di Sapporo, jadi saya bisa mencoba berbagai kuliner Jepang yang halal.
Seperti kebanyakan pelajar asing di Jepang, saya juga bekerja paruh waktu di sela-sela waktu kuliah. Saya bekerja di kampus sebagai staf supporter bagi para mahasiswa asing. Pekerjaan yang sangat saya sukai karena saya bisa menolong banyak mahasiswa asing dari berbagai negara yang tidak berbicara bahasa Jepang untuk membantu masalah sehari-hari mereka yang timbul karena keterbatasan bahasa.
Saya juga bekerja freelance sebagai penerjemah bahasa Jepang-Indonesia, lalu saat sebelum pandemi di mana banyak turis berkunjung ke Hokkaido sepanjang tahun, saya juga bekerja paruh waktu sebagai pemandu wisata bagi turis dari Indonesia dan Malaysia. Karena di kampus saya juga mengambil jurusan Tourism Creation, bekerja sebagai pemandu wisata ini memberi saya banyak kesempatan untuk terlibat lebih jauh dalam bidang yang saya tekuni.
Saya rasa bekerja paruh waktu merupakan kesempatan baik bagi kita untuk belajar mengelola waktu. Saya berusaha sekali untuk menyeimbangkan antara belajar, bekerja, dan bermain juga tentunya.
Tapi, kehidupan saya di Sapporo tidak semuanya mudah. Ada beberapa kesulitan yang juga harus saya hadapi terkait belajar dan riset. Salah satu diantaranya adalah soal bahasa. Awalnya saya pikir tidak akan banyak masalah terkait bahasa karena saya menguasai bahasa Jepang. Semua baik-baik saja untuk komunikasi dalam kehidupan sehari-hari, namun ketika sudah masuk ranah akademik, saya perlu berjuang dua atau tiga kali lipat lebih keras dibanding kebanyakan teman sekelas saya yang lain, yang mayoritas orang Jepang maupun siswa dari negara berbasis kanji.
“Apa yang sudah dimulai, akan saya selesaikan“.
Saat saya kewalahan dengan tugas-tugas dalam bahasa Jepang yang sulit, saya berusaha sendiri dulu semampu saya menyelesaikan semuanya, kemudian saya berdiskusi dengan teman baik saya yang juga orang Jepang untuk mengecek apa yang sudah saya kerjakan. Dari situ saya banyak terbantu meningkatkan kemampuan bahasa Jepang saya di level akademik.
Selain bahasa, saya pun harus mengatasi perasaan yang sering disebut dengan ‘winter gloomy’ manakala musim dingin datang menghampiri. Saya memang sangat suka salju, tapi kadang cuaca dingin yang ekstrim serta badai salju itu mampu menjatuhkan mood secara tiba-tiba atau membuat saya rindu tanah air.
Lihat Juga
International Student From Malaysia; “How I Made My Way to Nagoya University”
Mengatasi Rasa Rindu Tanah Air
Berkumpul dengan komunitas muslim di Masjid Sapporo dan teman-teman Indonesia di kampus merupakan cara ampuh bagi saya mengurangi perasaan stres atau rindu rumah itu. Kebersamaan dengan teman-teman di PPI Hokkaido (Persatuan Pelajar Indonesia di Hokkaido) dan komunitas muslim di masjid yang sudah seperti keluarga, cukup menjadi penyokong bagi saya di tanah rantau. Saya banyak menghabiskan waktu bersama mereka untuk belajar, bermain, maupun beribadah bersama.
Saran saya untuk kalian yang juga ingin belajar di luar negeri, janganlah berlepas diri dari komunitas. Membersamai komunitas dimanapun kita berada, mampu membuat kita bertahan dalam setiap keadaan. Bagi saya pun demikian, kebersamaan dengan komunitas muslim, serta teman-teman saya di PPI Hokkaido adalah bagian terpenting yang membuat Sapporo terasa seperti rumah.
See Also
Muslim-Friendly & Foreigner-Friendly Schools in Japan