This post is also available in: English
Ditulis oleh: Rini Aristiani
Saya lulus dari sekolah keperawatan yang kemudian membawa saya bekerja pada salah satu rumah sakit di kota Bandung (Jawa Barat), Indonesia, selama 2 tahun. Pada saat itu, saya mendengar dari teman saya tentang program kerja di Jepang sebagai perawat di rumah sakit (nurse) dan pengasuh lansia (caregiver) bernama ”Indonesia Japan Economic Partnership Agreement (IJ-EPA) ” yang merupakan program kerjasama antara pemerintah Indonesia dengan Jepang (Government to Government / G to G).
*Untuk yang berdomisili di Indonesia dan ingin bergabung pada program IJ-EPA, silahkan lihat syarat yang dibutuhkan di https://bp2mi.go.id/.
Di masa kanak-kanak, saya bermimpi untuk pergi ke Jepang suatu saat nanti, dan program ini mengingatkan saya akan impian saya tersebut dan mendorong saya untuk mendaftar program IJ-EPA.
Mendaftar IJ-EPA
Saya tidak bisa berhenti memikirkan tawaran yang diberitahukan oleh teman saya. Saya mempelajari lebih dalam persyaratan pendaftaran, mencari semua informasi yang berhubungan dengan program dari BNP2TKI website dan menantang diri saya sendiri untuk mendaftar.
Pertama-tama saya harus lolos tahap penyaringan dokumen, diikuti oleh tes keperawatan, psikotes, tes wawancara dan terakhir adalah pemeriksaan kesehatan (medical check-up). Alhamdulillah, saya dapat melewati semua test tersebut tanpa hambatan dan setelah itu saya melangkah ke proses matching. Saya diberikan ID dan pasword dari JICWELS (lembaga penanggung jawab program EPA dari Jepang) untuk dapat mengakses website dengan daftar rumah sakit dan panti wreda yang membutuhkan para perawat asing. Selain itu, ada juga beberapa panti wreda yang mengunjungi langsung ke Indonesia untuk mempromosikan institusi mereka. Dalam kasus saya, saya mengecek sendiri di website.
Pada tahap pertama proses matching, saya memilih 10 institusi dan mengurutkan sesuai dengan prioritas. Sayangnya saya gagal pada proses pertama ini dan mencoba proses matching kedua (ada dua kesempatan pada proses matching ini). Belajar dari pengalaman pada proses matching pertama, saya memilih lebih banyak sekitar 20 institusi untuk membuka kesempatan saya diterima lebih besar.
Alhamdulillah, saya mendapat matching dengan rumah sakit yang saya inginkan dan mendapatkan letter of consent (surat persetujuan).
Saat itu, agak sulit bagi Ibu saya untuk menerima keputusan saya pergi bekerja ke Jepang, tetapi setelah bernegosiasi dan berdiskusi, Ibu saya mengizinkan saya bekerja di Jepang dan saya siap berangkat!
Mempelajari Bahasa Jepang
Setelah menemukan rumah sakit tempat saya akan bekerja di Jepang, saya diharuskan mengikuti pelatihan bahasa Jepang yang disediakan oleh pemerintah selama setahun, 6 bulan pertama belajar di Jakarta dan 6 bulan selanjutnya belajar di Jepang, dengan semua biaya mulai dari biaya asrama, biaya pelatihan, biaya konsumsi hingga uang saku ditanggung oleh pemerintah Jepang. Saat itu uang saku yang saya terima sebesar US $ 10 perhari, dan uang tersebut saya tabung sebagai bekal saya di Jepang nanti.
Sebelum berangkat ke Jepang, saya diharuskan mengambil pemeriksaan kesehatan sekali lagi. Jika ditemukan masalah dengan kesehatan dan mendapat hasil unfit, maka akan dianggap gugur dan tidak bisa berangkat ke Jepang meskipun sudah lolos matching dengan panti atau rumah sakit di Jepang. Sayangnya ada beberapa teman saya yang mendapat hasil unfit sehingga saya merasa sedih karena tidak bisa berangkat bersama mereka ke Jepang. Untuk peserta dengan hasil fit maka akan diminta untuk menandatangani perjanjian kerja.
Keberangkatan kami ke Jepang diatur berdasarkan tanggal terbitnya visa. Tiga hari sebelum keberangkatan, kami mendapat pembekalan terakhir di salah satu hotel di Jakarta. Selain itu, Kedutaan Besar Jepang di Indonesia juga mengadakan pesta pelepasan sehari sebelum keberangkatan kami ke Jepang.
Hidup Di Jepang
Sesampainya di Jepang, saya mengikuti pelatihan bahasa Jepang lanjutan tepatnya di AOTS Chubu Kenshu Centre selama 6 bulan. Sama seperti fasilitas pelatihan di Jakarta, di sini pun disediakan tempat yang nyaman untuk beristirahat dan belajar, dan uang saku dengan jumlah yang sama dengan yang didapat di Jakarta untuk membeli kebutuhan yang saya butuhkan sehari-hari. Pertama kali belanja di Jepang, saya kaget karena saya harus memasukkan sendiri uang sendiri di mesin kasir.
Setelah 6 bulan, tibalah perpisahan dengan teman-teman yang belajar bahasa Jepang bersama di tempat pelatihan untuk diberangkatkan dan bekerja pada masing-masing panti dan rumah sakit di Jepang.
Bekerja di Jepang Sebagai Caregiver
Saya ditempatkan pada sebuah rumah sakit di Prefektur Yamaguchi. Kepala Divisi Keperawatan dan Kepala Kantor menyambut dengan ramah dan menghapus kerisauan saya (dan juga semua teman-teman saya) tentang bekerja di tempat baru.
Kami tinggal di asrama yang berada di lantai paling atas rumah sakit dan kami berbagi kamar mandi dan dapur untuk dipakai bersama.
Bekerja sebagai caregiver sangat menyenangkan dan menarik. Semua rekan-rekan dan pasien-pasien saya sangat baik dan ramah. Mereka dengan sabar menjelaskan hal yang kurang saya pahami.
Mendapat pekerjaan sebagai caregiver dan merasakan bekerja di rumah sakit bukan tujuan kami sebenarnya. Dari program IJ-EPA ini, kami diharapkan dapat lulus ujian negara nurse dan caregiver (kaigofukushishi kokkashiken) yang dikenal dengan sangat sulit dan membutuhkan level bahasa Jepang yang tinggi. Alhamdulillah, saya bersyukur karena rumah sakit tempat saya bekerja memyiapkan guru untuk belajar menghadapi ujian negara tersebut.